Pembahasan yang menarik ketika kita membahas sebuah madzhab Fiqh.
Mungkin banyak ulama yang sudah membahas apa itu madzhab, bagaimana sebuah madzhab bisa bangun, bisa bertahan dan bisa berkembang. Hal ini tidak lepas dari pendiri madzhab itu sendiri atau yang lebih dikenal dengan Imam Mujtahid Muthlaq.
Namun, banyak orang yang mengaku-ngaku bisa mengambil hukum dari Al-Quran dan Hadits secara langsung. Padahal hanya paham kedua dalil itu sebatas memahami arti atau terjemahan. Bandingkan dengan Imam Mujtahid dalam membangun metode ijtihad yang kuat dan sistematis. Memang, Imam Mujtahid itu ada tingkatannya dan setiap Imam itu mempunyai kelebihan masing-masing. Tetapi apakah adil, apakah pantas kita mengaku bisa mengambil dan mencoba langsung mengambil hukum dari Al-Quran dan Hadits dan menyalahkan orang lain atas pendapatnya.
Dalam empat madzhab besar dan yang diakui terdapat para Ulama yang mempunyai tingkatan-tingkatan tersendiri. Tingkatan Mujtahid terendah menurut para Ulama adalah Mujtahid Fatwa contohnya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam madzhab Syafi'i dan Imam An-Nasafi dalam madzhab Hanafi. Salah satu karya Imam Ibnu Hajar adalah Tuhfatul Muhtaj ila adillatil Minhaj. Kitab Fiqh yang sangat terkenal dan menjadi rujukan dunia.
Nah, kita ini yang mencoba mengambil langsung hukum dari Al-Quran dan Hadits dan menolak ijtihad ulama lain, apakah kita sudah setingkat mereka? apakah kita sudah mampu setingkat Imam An-Nawawi, setingkat Imam para Ashabil Wujuh? setingkat para Ashabus Imam seperti Imam Muhammad bin Yusuf sahabat Imam Hanafi, Imam Al-Muzani sahabat Imam Syafi'i.
Belum???? rendah hatilah hai saudara!!! secara kasarnya, Tau dirilah hai saudaraku.
0 komentar
Posting Komentar