Rabu, 14 Maret 2018

'Perang' Ilmiah Para ulama: Santun dan beretika

'Perang' Ilmiah Para ulama: Santun dan beretika

Perbedaan pendapat dalam memahami Nash atau dalil adalah hal yang sangat lumrah. Perbedaan ini terjadi karena Allah sudah menganugerahkan akal dan pikiran kepada manusia sehingga manusia tersebut dapat mempergunakan akal dan fikiran untuk memahami nash Al-Quran dan hadits Rasulullah. Sehingga dengan adanya perbedaan pemahaman ini maka terjadilan perbedaan hukum yang dihasilkan oleh para mujtahid.



Hal yang paling penting dalam hal menyikapi perbedaan pendapat antara para ulama adalah memilih salah satu yang kita anggap lebih kuat dan tidak mencela pendapat yang lain. Itulah sikap yang perlu kita ambil sebagai kaum awam. Nah, tidak jarang para ulama yang berbeda pendapat tersebut berdiskusi atau saling melempar dalil dalam menguatkan argumentasi masing-masing. Dalam istilah lain disebutkan perang ilmiah atau perang dalil.

Disini saya akan membahas beberapa contoh dari perang ilmiah para ulama.

Imam Ibnu Shalah dan Imam Izzuddin Al-Qasam
Imam Ibnu Shalah lahir pada tahun 577 H. Imam Ibnu Shalah berasal dari Shaikhan, salah satu daerah yang didiami oleh suku Kurdi. Salah satu kitab karangan Imam Ibnu Shalah yang terkenal adalah “Muqaddimah Ibnu Shalah”.

Imam Izzuddin Al-Qasam lahir pada tahun 577 H. dan ada yang menyatakan beliau lahir pada tahun 578 H. Beliau lahir di daerah Damaskus atau Syiria sekarang ini. Beliau mendapatkan julukan Sulthanul Ulama, Gelar ini pertama kali dipopulerkan oleh murid beliau yang bernama Imam Ibnu Daqaqil ‘id. Biografi Imam Izzuddin Al-Qasam dapat dilihat pada link berikut ini (Imam Ibnu Shalah).

Perang ilmiah antara Imam Ibnu Shalah dan Imam Izzuddin Al-Qasam adalah pada masalah raghaib, yaitu masalah shalat sunnat pada awal bulan rajab. Ibadah Raghaib ini sering dan biasa dikerjakan di Baitul Maqdis pada Kamis pertama bulan Rajab. Imam Ibnu Shalah dalam fatwanya mengenai beberapa ibadah menganggapnya sebagai bid’ah, tetapi di belakangannya beliau tidak mem-bid’ah-kannya. Bahkan, memperbolehkannya khususnya tentang shalat Raghaib tersebut. Namun, pendapat ini ditolak oleh Imam Izzuddin Al-Qasam.

Imam Izzuddin Al-Qasam pun mengarang kitab “At Targhib ‘an Shalat Raghaib Al Maudu’ah” untuk menolak pendapat Imam Ibnu Shalah tersebut. Imam Ibnu Shalah lantas membantah pendapat tersebut dengan menulis kitab “Ar Radd ‘ala Targhib”. Imam Izzuddin Al-Qasam kembali membalas dengan mengarang kitab berjudul “Tafnid Radd”. Demikianlah perdebatan atau diskusi atau perang ilmiah yang terjadi antara Imam Ibnu Shalah dan Imam Izzuddin Al-Qassam.

Guru yang sama
Menariknya, Imam Ibnu Shalah dan Imam Izzuddin Al-Qassam mempunyai guru yang sama yaitu Al-Hafidh Ibnu Asakir, seorang ulama Ahli Hadits yang lain. Beliau ini adalah pengarang Kitab yang terkenal yaitu Tarikh Ad-Dimasyqi. Beliau juga menulis buku tentang keutamaan bulan rajab yang berjudul “Fadlu Rajab (Kelebihan Bulan Rajab)".

Syaikh Muhammad Said Mungka dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Dalam bigorafi Abuya Muda Wali Al-khalidy selalu dituliskan bahwa pada masa Abuya telah terjadi perdebatan antar Ulama yang sangat 'alim dan faqih yaitu Syaikh Muhammad Said Mungka dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. 

“Ketahuilah hai segala ummat Ahlissunnah wal Jamah, bahwasanya karangan yang mulia Syaikh Ahmad al-Khatib yang bernama: Izhar Zighlil-Kazibin, tentang membantah Rabithah dan Thariqat naqsyabandiyah itu adalah silap dan salah paham dari Syaikh yang mulia itu, karena beliau itu telah ditolak oleh yang mulia Syaikh Sa`ad Mungka Payakumbuh (Sumatra Tengah) dengan kitabnya Irghamu Unufil Muta`annitin. Kemudian kitab ini dijawab pula oleh yang mulia Syaikh Ahmad al-Khatib dengan kitabnya as Saiful Battar. Kitab ini pun ditolak oleh yang mulia Syaikh As`ad Mungka dengan kitabnya yang bernama Tanbihul `Awam. Pada akhirnya patahlah kalam Tuan Syaikh Ahmad al-Khatib. Karena itu maka hamba yang faqir ini, Syaikh Muhammad waly al-Khalidy sebabnya mengambil Thariqat Naqsyabandiyah adalah setelah muthala`ah pada karangan karangan Syaikh Ahmad Khathib dan karangan karangan Syaikh Sa`ad Mungka dimana antara karangan kedua-dua Ulama itu sifatnya soal-jawab dan debat-berdebat. Perlu diketahui bahwa Tuan Syaikh Ahmad Khatib itu murid Sayyid Syaikh Bakrie bin sayyid Muhammad Syatha. Sedangkan Tuan Syaikh As`ad Mungkar murid Mufti az-Zawawy, gurunya Syaikh Usman Betawi yang masyhur itu. Maka muncullah kebenaran ditangan Tuan Syaikh Sa`ad Mungka apalagi saya telah melihat pula kitab as-Saiful Maslul karangan Ulama Madinah selaku menolak kitab Izhar Zighlil Kazibin. Oleh sebab itu bagi murid-muridku yang melihat karanagn Syaikh Ahmad Khatib itu janganlah terkejut, karena karangan beliau itu ibarat harimau yang telah dipancung kepalanya.”

Selain perdebatan di atas, terdapat juga perdebatan para ulama dengan mengeluarkan karangan masing-masing, seperti perdebatan antara Imam As-Sakhawi dengan Imam As-Suyuthi, Imam Al-Ghazali dan Imam Ibnu Rusyd, dan lain-lain. Perdebatan tetap dilakukan dengan ilmiah, melalui tulisan, dan tidak saling merendahkan walaupun sama-sama mempunyai argumen dan ilmu yang sangat mendalam.

Oleh karena itu, marilah kita ini sebagai orang-orang awam yang belum tentu punya ilmu yang bahkan seujung kuku mereka untuk saling menghormati antar pendapat yang masing-masing orang punya dalil dan punya pemahaman yang berbeda terhadap dalil tersebut. Apalagi jika kita ingin mendebat para ulama yang lebih alim dari kita. Tidak salah anda menganggap pendapat anda benar, tetapi yang salah adalah menganggap yang selain anda dan ada dalil itu mungkar. Wallahu ‘a’alam bish shawab.


sumber: http://portalsatu.com/read/oase/perang-ilmiah-syekh-izzuddin-dengan-ibnu-shalah-27593



0 komentar

Posting Komentar