Dalam mentarjih antara dua buah dalil yang terlihat ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Secara garis besar, faktor-faktor tersebut dibagi ke dalam beberapa kelompok sebagai berikut.
1. Tarjih berdasarkan sanad atau jumlah perawi
2. Tarjih berdasarkan matan
3. Tarjih berdasarkan madlul atau objek hadits
4. Tarjih berdasarkan faktor luar
5. Tarjih terhadap Ijma’ (Ijma’ dengan ijma’)
6. Tarjih terhadap qiyas dengan qiyas yang dibangun berdasarkan asl
7. Tarjih terhadap qiyas dengan qiyas yang dibangun berdasarkan ‘illat
8. Tarjih terhadap batasan-batasan (hudud)
Tarjih berdasarkan sanad atau jumlah perawi
Ada beberapa tingkatan tarjih yang dilakukan berdasarkan sanad atau jumlah perawi.
1. Hadits atau khabar yang mempunyai banyak pendukung lebih diunggulkan dibandingkan dengan hadits atau khabar yang memiliki sedikit pendukung. Ada pendapat lain, hal ini tidak dapat jadi pertimbangan karena diqiyaskan kepada perseteruan, namun hal ini dapat dibantah bahwa perseteruan tidak dianggap syarat ini karena ingin menyelesaikan permasalahan untuk mencapai kedamaian, sedangkan permasalahan hadits adalah permasalahan hukum.
2. Hadits yang sanad nya ‘aly lebih diunggulkan dari pada hadits yang sanad nya nadzil. Hadits atau khabar yang memiliki rantai sanad yang lebih sedikit lebih diunggulkan dari pada yang banyak. Contohnya Pendapat A mempunya dalil dari Rasulullah – Shahabat – Tabi’in – Tabi’ut tabi’in – Mujtahid A, sedangkan pendapat B, mempunyai dalil dari Rasulullah – Shahabat – Tabi’in – Tabi’ut tabi’in – Atba’ tabi’ut tabi’in – Mujtahid A, maka pendapat A dengan dalil hadits A lebih unggul dari pendapat B dengan dalil Hadits B. Hal ini dikarenakan pendapat A hanya mempunyai 3 perantara antara Mujtahid A dengan Rasulullah, sedangkan Pendapat B dengan dalil hadits B mempunyai 4 perantara antara Mujtahid A dengan Rasulullah. Semakin sedikit perantara, maka semakin kecil peluang untuk salah.
3. Penguasaan rawi terhadap ilmu fiqih. Rawi yang paham dalam fiqh dibidang hadits yang diriwayatkan lebih diunggulkan dibandingkan rawi yang tidak paham fiqh dalam hadits yang diriwayatkan.
4. Tingkatan Penguasaan ilmu bahasa termasuk penguasaan dalam ilmu nahwu. Penguasaan ilmu bahasa terutama ilmu nahwu menyebabkan seorang perawi lebih tahu apa yang diriwayatkan dari pada yang tidak dan dapat meminimalkan kesalahan dari apa yang diriwayatkan.
5. Tingkatan kehati-hatian seorang perawi dalam menjalankan agama atau yang disebut wara’. Perawi yang wara’ lebih diunggulkan dari perawi yang kurang wara’. Perawi yang wara’ akan cenderung menjalankan amal ibadah sunat dan menjauhi yang makruh.
6. Tingkat kecermatan dan kecerdasan perawi. Tingkat kecermatan membuat seorang perawi akan sangat menjaga hadits yang diriwayatkan.
7. Tingkat ingatan perawi. Tingkat ingatan seorang perawi sangat berhubungan dengan tingkat kecermatan seorang perawi. Seorang perawi yang mempunyai ingatan yang sangat bagus tidak akan mengalami lupa yang sangat sedikit dibandingkan dengan perawi yang ingatannya kurang bagus.
8. Tingkatan aqidah seorang perawi. Dalam hal ini, perawi tidak lah seorang penganut bid’ah. Bid’ah dalam hal ini adalah bid’ah tentang aqidah, bukan bid’ah dalam fiqh.
9. Tingkat kemasyhuran seorang perawi akan sifat keadilannya (‘adalah). ‘adalah ialah sifat baik dalam berakhlak dan mengambil suatu keputusan.
Demikianlah beberapa tingkatan tarjih dari suatu hadits dan khabar untuk menentukan hadits dan khabar mana yang lebih kuat untuk diamalkan. Sembilan poin diatas adalah tingaktan yang paling tinggi dalam proses tarjih suatu hadits atau khabar.
Pada tulisan selanjutnya kami akan membahas tingkatan selanjutnya dalam proses tarjih hadits dan khabar.
Sumber: Lubbil Ushul Mukhtasar Jam’ul Jawami’ Karya Imam Zakaria Al-Anshari, Kajian dan Intisari dua ushul karya Darul Azka dan Nailul Huda.
0 komentar
Posting Komentar