Para ulama yang membukukan hadits-hadits Rasulullah tentu tidak ada yang mendengarnya langsung dari Rasulullah. Hal ini dikarenakan kitab hadits yang sampai ke zaman kita hanyalah kitab hadits yang disusun 100 tahun sesudah Rasulullah wafat. Pembukuan hadits baru mulai dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis. Khalifah Umar bin Abdul Azis meminta Gubernur Madinah saat itu yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazmin (120 H) yang merupakan murid dari Khalifah binti Anas bin Malik untuk membukukan hadits dari Amrah binti Abdurrahman bin Sa’ad, salah satu murid senior Ummahatul Mukminin Sayyidah ‘Aisyah r.ha, dan hadits dari Qasim bin Muhammad bin bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, salah seorang fuqaha tujuh. Khalifah Umar bin Abdul Azis juga memerintah Imam ibnu Syihab Az-Zuhry untuk membukukan hadits-hadits Rasulullah. Namun, sayang sekali kitab-kitab tersebut tidaklah sampai ke zaman sekarang. Kitab hadits tertua yang samapai pada zaman ini adalah kitab Al-Muwattha’ susunan Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki.
Nah, untuk memverifikasi hadits yang diterima apakah shahih atau tidak maka perlu diperiksa dari siapa orang yang kita dengar tersebut mendapatkan hadits tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan jumlah perawi ini, maka hadits terbagi kepada dua bagian yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad. Namun, ada sebagian ulama membagi hadits berdasarkan jumlah perawi menjadi tiga, yaitu hadits mutawatir, hadits masyhur, dan hadits ahad.
Hadis mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada setiap tingkatan yang mustahil setiap rawi tersebut berkumpul dan bersepakat untuk berdusta. Hadits mutawatir didengar oleh sebagian besar sahabat dari Rasulullah atau sesama sahabat, kemudian diriwayatkan oleh sebagian besar tabi’in, kemudian diriwayatkan lagi oleh sebagian besar tabi’ut tabi’in dan seterusnya diriwayatkan oleh sebagian besar perawi sampai kepada penyusun kitab hadits. Setiap tingkatan periwayat hadits tersebut tidak dimungkinkan untuk berkumpul dan berdusta. Oleh karena itu, ulama mensyaratkan ada tiga syarat dalam mendefinisikan hadits mutawatir, yaitu
1. Hadits yang didapatkan oleh para perawi harus didapatkan secara langsung yang benar-benar didengar, dilihat atau dialami sendiri. Oleh karena itu, jika hadits yang didapatkan merupakan hasil pemikiran atau kesimpulan dari beberapa peristiwa tidak termasuk hadits mutawatir.
2. Jumlah perawi untuk setiap masa harus mencapai jumlah yang tidak memungkinkan untuk bersepakat berbohong. Menurut Syekh Mahfidh Turmusi dalam Manhaj Dzawin Nadhar dan Ahmad Muhammad Syakir dalam syarah Alfiyah As-Suyuthi, ada beberapa pendapat untuk menentukan jumlah perawi untuk hadits mutawatir, yaitu sebagai berikut:
A. Abut Tahyyib menganggap jumlahnya dalah empat, hal ini diqiyaskan dengan jumlah saksi dalam suatu proses hukum.
B. Para Ulama dalam madzhab syafi’i menganggap jumlahnya lima, karena menqqiyaskan dari jumlah rasul ulul azmi.
C. Sebagian ulama menetapkan 20 orang, diqiyaskan dari surat Al-Anfal ayat 65.
D. Sebagian ulama yang lainnya menetapkan jumlahnya 40 orang, diqiyaskan kepada jumlah orang-orang mukmin ketika diturunkan surat Al-Anfal ayat 64.
3. Adanya keseimbangan jumlah rawi dalam setiap lapisan atau masa periwayatan. Keseimbangan ini tidak menuntut jumlah yang sama persis, namun selisih jumlahnya tidak terlalu jauh berbeda.
Ada beberapa kitab yang disusun khusus untuk menghimpun hadits-hadits mutawatir, diantaranya adalah Al-Azharul mutantsirah fil akhbaril mutawatirah, karangan Al-Hafidh As-Suyuthi (911 H), dan Nadlmul mutanatsir minal haditsil mutawatir karya Ibnu Ja’far al kattany (1345 H).
Hadits mutawatir terdiri dari dua bagian yaitu hadits mutawatir lafdhy maupun hadits mutawatir ma’nawy. Hadits mutawatir lafdhy adalah hadits mutawatir yang diriwayatkan secara lafadh dan setiap perawi meriwayatkan dengan lafadh yang sama. Menurut sebagian pendapat, hadits mutawatir lafdhy sangat sedikit (T.M. Ash-Shiddiqy). Contoh hadits mutawatir lafdhy adalah
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Hadits mutawatir ma’nawy adalah hadits mutawatir yang diriwayatkan secara mutawatir berupa maknanya, namun menggunakan lafadh yang berbeda-beda. Contoh hadits mutawatir ma’nawi adalah
صلوا كما رأيتموني أصلي
Hadits mutawatir dapat diterima sebagai hujjah sebagai ijma’ kaum muslimin dikarenakan diriwayatkan oleh sebagian besar kaum muslimin. Selain itu, ada pendapat bahwa jika setiap manusia yang mempunyai berbagai macam corak kemauan bersepakat untuk suatu hadits atau khabar, maka tentulah hadits atau khabar tersebut pasti adanya.
Sumber:
Syarah Alfiyah As-Suyuthi, karangan Ahmad Muhammad Syakir
Manhaj Dzawin Nadhir, karangan Syekh Mahfudz Turmusi
Ikhtishar Musthalahul Hadits, karangan Fathur Rahman
Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, karangan T.M Hasbi Ash-Shiddiqiy.
0 komentar
Posting Komentar